Banjir yang terjadi minggu lalu, sempat melumpuhkan Jakarta akibatnya terkena dampak ekonomi yang cukup luas. Dampaknya sampai terasa di Jawa
Tengah. Industri tekstil di Pekalongan, misalnya, memasarkan hasil
produksinya ke Jakarta. Sopir-sopir truk segan pergi ke
Jakarta karena takut kendaraannya akan macet di Jakarta.
Maka banjir
ini pasti juga menaikkan harga sehingga mempengaruhi tingkat inflasi.
Akan tetapi, dampak keseluruhannya kiranya tidak akan terlalu besar.
Inflasi akan naik, mudah-mudahan kurang dari satu persen. Banjir juga
tidak merusak, sampai menghancurkan, bangunan seperti gempa bumi (di
Jogja). Banjir di Jakarta juga bukan musibah yang terus menerus.
Tetapi, justru oleh karena ibu kota yang terkena, yakni tempat
pemerintah dan lokasi pengambilan keputusan, maka pengaruh ekonominya
juga akan luas.
Beberapa proyek untuk menghalau dampak buruk juga sempat dikemukakan
di media massa, seperti pembuatan banjir kanal (timur dan barat),
pembuatan ratusan situ di selatan Jakarta untuk menampung luapan air
dari daerah Bogor dan Puncak. Jumlah biaya proyek-proyek demikian
sampai trilyunan rupiah, sehingga pelaksanaannya belum bisa dipastikan
sekarang, karena keperluan pembangunan ekonomi dan sosial yang juga
mendesak (dan sifatnya terus menerus) cukup banyak, seperti di bidang
kesehatan, pendidikan dan pembangunan infrastruktur desa. Tetapi,
“trauma” dari pengalaman banjir yang baru lalu ini pasti juga menambah
desakan atau urgensi sehingga “cicilan” pengeluaran akan diperbesar di
waktu yang dekat.
Maklumlah, banjir adalah gejala musiman yang
setiap tahun kembali di bulan Januari atau Februari, sehingga penduduk
dianggap sudah terbiasa. Banjir besar seperti yang baru lalu ini juga
hanya terjadi sekali lima tahun. Maka bisa juga “diputuskan” untuk
tidak mengeluarkan uang sampai trilyunan, dan uang itu lebih baik
dipakai untuk memperbaiki keadaan kesehatan dan pendidikan, serta
memperbaiki infrastruktur kampung. Anggaran tambahan yang tidak terlalu
besar bisa digunakan untuk memperbaiki selokan-selokan dan sistim
drainage kota sehingga genangan air tidak terjadi terlalu lama.
Kalau keperluan tambahan anggaran demikian masih besar maka bisa
dipertimbangkan untuk menaikkan pajak. Karena tujuannya adalah
memperbaiki keadaan di Jakarta, sehingga tidak bisa disebut proyek
nasional, maka pajak demikian harus dikenakan kepada penduduk Jakarta
saja. Pajak bisa berupa pajak pendapatan atau pajak atas kekayaan atau
harta benda. Yang paling cocok adalah pajak PBB, atas tanah dan
bangunan, karena penanggulangan banjir lebih terkait kepada (nilai)
tanah dan bangunan.
Banjir besar yang lalu sempat mengganggu kehidupan normal
penduduk dan penguasa di Jakarta maka bisa menimbulkan suasana “krisis”,
yakni sesuatu yang mengancam kehidupan normal. Suasana krisis bisa
mempunyai berkah, ia bisa membuka mata lebih lebar dan membuat orang
lebih bersedia untuk mengurangi kenyamanan yang biasanya ia nikmati.
Suasana atau alam fikiran demikian bisa dipergunakan untuk mendorong
tercapainya suatu keputusan yang sampai sekarang terkatung-katung. Hal
demikian mungkin penting bagi pemerintah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono yang sering dilihat ragu-ragu.
Di lain pihak, kita jangan lupa bahwa banjir besar yang lalu menimpa
(hanya) Jakarta. Maka pemerintahan Jakarta yang lebih banyak dilanda
“krisis” ini. Tetapi, akibat jelek banir di Jakarta tidak bisa
diselesaikan oleh pemerintah di DKI saja, akan tetapi memerlukan
dukungan dari daerah-daerah sekelilingnya, seperti Depok, Bogor,
Tanggerang dan Bekasi. Maka Pemerintah Pusat juga harus turun tangan.
Kesempatan demikian bisa dipergunakan untuk menyelesaikan salah suatu
kesulitan yang dihadapi pelaksanaan otonomi daerah. Pembagian wewenang
antara Pemerintah Pusat, Gubernur dan Bupati sering masih rancu. Kalau
bisa diselesaikan untuk DKI maka mungkin bisa dibuat contoh untuk lain
tempat.
Banjir di Jakarta ini pasti akan menaikkan tingkat inflasi, walaupun
mudah-mudahan hanya sedikit. Dampaknya hanya seketika (once over),
akan tetapi sesudah itu masih ada keperluan pengeluaran yang banyak
untuk membiayai pemulihan ekonomi. Dalam hal ini sistim perbankan harus
lebih banyak menyumbang daripada pemerintah pusat lewat anggaran
belanjanya. Maka Bank Indonesia harus memperhitungkan ini. Kalau inflasi meningkat maka bisa dibilang tidak adil, karena orang
di Sulawesi dan Sumatra harus ikut menanggung beban untuk meringankan
derita penduduk di Jawa. Akan tetapi begitulah konsekuensi punya NKRI.
REFERENSI :